Setelah
membaca artikel dari nalar politik dengan judul Pemprov Sulbar menelantarkan GTT-PTT. Perihal
kelanjutan nasib dari PTT dan GTT yang tak kunjung mandapatkan SK atau
perjanjian kerja sama dari pemerintah provinsi Sulawesi Barat menjadi polemik
karena menyangkut hak 3700 orang menurut Nalar politik.
Sebelum
berbicara lebih jauh terkait masalah tersebut, Saya mengajak pembaca untuk
menilik kembali akar permasalahannya yang cenderung dianggap sepele oleh
beberapa pihak selama ini. Nepotisme, ya nepotisme sudah seperti menjadi hal
yang sangat lumrah di bumi Sulawesi Barat ini, kebiasaan untuk mendahulukan
sanak keluarga diatas kepentingan bangsa dan daerah seperti sudah menjadi hal
yang sangat lumrah di lingkungan birokrasi kita khususnya sulawesi barat. Yang
menjadi pokok permasalahan bukanlah sifat tolong menolongnya yang selalu
menjadi dasar atas menjalarnya praktik semacam ini, karena memang tolong
menolong juga dapat di benarkan karena berlandaskan atas dasar tepa salira atau
merasakan penderitaan orang lain yang menjadi salah satu butir nilai pada sila
ketiga.
Tapi
kebiasaan untuk berbalas budi atau membantu sesama dalam bentuk memuluskan
teman atau sanak keluarga untuk menjadi tanda kutip “honorer” dan “sukarela”
sudah seperti memilih mainan untuk anak kecil saja, cenderung seperti
menggampangkan hal tersebut sehingga melupakan nilai-nilai kualitas yang juga
wajib ada di dalam value orang tersebut, karena hasil kerja dari mereka
nantinya akan menentukan kualitas anak didik atau pelayanan masyarakat. Belum lagi tingginya angka usia produktif yang
belum bekerja dan susahnya mencari pekerjaan kadang dijadikan praktek
pembenaran seperti ini yang ujung-ujungnya memberatkan keuangan daerah itu
sendiri karena harus meng-gaji PTT-GTT yang jumlahnya tidak bisa dibilang
sedikit dan tidak bisa menjanjikan kontribusi lebih secara merata di 3700 orang
PTT-GTT tersebut.
Dengan
estimasi gaji per PTT-GTT kurang lebih sebesar 800 ribu maka, 800.000 x 3700 =
2.960.000.000, bisa dibayangkan pemerintah daerah harus menyisipkan dana hampir
menyentuh 3 miliar setiap bulannya untuk menggaji PTT-GTT yang tidak semuanya
memiliki kapabilitas untuk menjalankan kewajibannya, hal ini tentu bukan angka
yang kecil mengingat juga terdapatnya urgensi untuk pembangunan di pos-post
program pemerintah yang lain walaupun kebutuhan akan SDM berkualitas di
beberapa intansi dan sekolah di Sulawesi Barat tidak bisa dibilang tidak
penting juga (read:SDM berkualitas yaaa bukan sekedar rekrut).
Seperti
saya bilang diawal salah satu penyebab sehingga tidak terbayarkannya hak dari
PTT-GTT karena asal memasukan rekomendasi menjadi PTT-GTT, yang efeknya
mengorbankan kualitas dari PTT-GTT padahal jika melihat fakta yang disodorkan
Nalar Politik masih ada sekolah yang bernasib seperti SMK Kakao di Kab. Mamuju
yang tentu saja sangat mengkhawatirkan mengingat kita pernah di calonkan
sebagai calon ibu kota yang baru (walaupun mungkin cuman gurauan Pak Jusuf
Kalla).
Hal ini
juga saya bagikan setelah bercerita dengan salah satu dosen di lingkungan
kampus negeri yang ada di Sulawesi Barat (namanya tidak bisa saya sebutkan). Mengeluhkan
akan tingginya angka nepotisme padahal ada banyak yang ingin ikut membantu
kemajuan daerah ini tapi karena tidak adanya pemenuhan HAK yang baik sehingga banyak
yang akhirnya mengurungkan niatnya mengingat kedekatan emosional dan hubungan
darah selalu didahulukan dari pada kualitas.
Terakhir untuk mengatasi hal ini pemerintah daerah seharusnya mengambil
aksi nyata yang bijak bukan sekedar di level berpikir, untuk memenuhi HAK
PTT-GTT apalagi seleksi PPPK semakin dekat. Takutnya hal itu bisa menjadi
pengalihan isu untuk tidak membayarkan hak PTT-GTT, tidak kalah pentingnya budaya nepotisme di
pemerintah daerah provinsi dan pemerintah
kabupaten yang ada di Sulawesi Barat harusnya sudah mulai dihentikan
mengingat kita sudah masuk ke era dimana daerah yang memiliki SDM dengan kompetensilah
yang akan maju bukan darah yang SDMnya sibuk mencari kedekatan dengan penguasa.
Achmad Nr
Mamuju, 28 Agustus 2019
Gambar : https://pidjar.com
0 komentar